Karizma Rindu Inayatullah

  • 0
namanya unik, Ndu panggilannya, lahirnya sama kayak gue 17 oktober 1993,
excited banget pas gue tau ada yang lahirnya sama kayak gue, haha
*gatau gue mau nulis apa lagi tentang lo, Ndu* haha :D
pertama kali ketemu lu, gue langsung dapet chemistry gitu deeeh Nduuu, haha
langsung nyambung gitu gue ngobrol sama elu
kalo kata si Dila sih, Smansa-HK itu kayak anak kembar, #eh iya gak ya?#
 ah pokoknya banyak kata deh yang gak bisa gue ungkapin tentang lo
kalo kata Pasha-Ungu mah "banyak kata yang tak mampu kuungkapkan, kepada dirimu"
kayak yang gue bilang tadi Ndu, diotak gue udah banyak banget hal yg mau ditulis, tapi be
gitu di realisasiin lewat tulisan, semuanya jadi buyar, dan gue gak sabaran
orangnya haha
intinyaaaa, gue hari ini seneeeeng bangeet bisa "buber : buka berdua" sama lu :D
Jazakillah khairan ya Nduuu
next time ajak gue ke tempat yang jauuuuuh yaaa,
uhibbuki fillah :)

afiefah, ruang tamu CI :)

menata hati-2

  • 0
Aku kira kita sudah saling memaafkan. Nyatanya, kita hanya saling melupakan. Sayangnya, kadang kita malah ingat apa yang seharusnya dilupakan dan lupa dengan apa yang harusnya tertanam dalam ingatan. Saling melupakan menjadi kesalahan baru yang kita lakukan. Dan kata maaf yang pernah kita ucapkan, tak cukup kuat untuk mengendalikan perasaan. Mulutmu memang pernah mengucap maaf. Ringan. Mulutku juga menerimanya. Berat. Dan maaf menjadi kata tanpa makna. Menjadi ritual yang terpaksa. Karena baru dilakukan oleh mulut semata. Karena baru diucapkan dengan kata belaka.
****
Rumah mungil itu bernama hati. Kita sama-sama tahu dimana lokasinya. Aku punya, kamu juga. Pertanyaannya, seberapa kenal kita dengan penghuninya? Penghuninya memang diri kita masing-masing. Tapi terkadang, diri kita tidak sesederhana yang kita bayangkan. Memang demikian adanya. Karena kita manusia. Sedangkan Tuhan menciptakan manusia satu paket dengan akal dan hatinya. Dengan logika dan emosinya. yang membuat aku dan kamu beserta manusia lainnya menjadi begitu unik, rumit dan tak terduga. Itulah kenapa banyak orang yang kesulitan untuk mengenal dirinya sendiri. Tak terkecuali, kita.
Belakangan aku mencoba mengelilingi rumah mungil itu. Menyibak bongkah-bongkah perasaan yang ikut mendiaminya. Ada satu lokasi yang membuatku kaget tercengang. Kenapa disana begitu kotor berdebu. Kenapa disana tampak lebih hitam dan gelap. Kenapa disana terasa sakit. Dan kenapa disana ada namamu. Emosiku langsung mengambil alih, membuat kesimpulan kalau kamulah penyebabnya. Kesimpulan itu benar adanya. Memang kamulah penyebabnya. Yang salah adalah perlakuanku setelahnya. Untung, logika masih berbaik hati untuk meluruskannya. Rumah mungil itu rumahku. Ada dalam diriku. Kamu memang mengotorinya. Aku juga mungkin pernah mengotori rumah mungilmu, yang baru aku mengerti adalah penjelasan di bawah ini. Logika yang membantu menyusunnya;
Kita bisa berada dalam kebersamaan yang sama. Tapi kita tidak bisa tinggal di hati yang sama. Tuhan sudah memberikan porsinya masing-masing. Aku punya. Kamu juga punya. Tidak bisa saling tukar. Sudah begitu adanya. Memang begitu takdirnya. Karena kita bertanggungjawab terhadap diri kita sendiri. Termasuk rumah mungil yang masing-masing kita miliki. Hati kita.
Mungkin, sesekali kita bisa saling berkunjung. Sekedar bertamu. Dengan kepentingan yang beraneka ragam. Tak lebih. Kalau rumah mungil ini adalah milikku, harusnya aku yang bertanggungjawab membersihkannya dari segala kotoran, bukan? Terserah darimana kotoran itu berasal. Termasuk kalau ada yang rusak dengan bagian-bagiannya, aku juga yang seharusnya bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Tak peduli siapa yang menyebabkan kerusakan itu. Karena mereka semua hanyalah tamu, yang kadang membuat ramai, membuat bahagia. Tapi sesekali amat menyebalkan dan tega mengotori. Membersihkannya adalah kewajibanku sebagai pemiliknya. Sedang membantu membersihkan adalah pilihan mereka sebagai tamu. Ada yang berbaik hati untuk membantu membersihkan. Ada yang hanya meminta maaf karena sudah mengotori. Ada juga yang tak peduli dengan apa yang sudah dilakukannya. Sayangnya, jenis tamu terakhir yang paling banyak.
Tapi apapun itu, aku ingin mejaga rumah mungil ini agar tetap bersih. Salah satunya dengan memaafkan. Dan aku memaafkanmu. Walupun memaafkan adalah proses yang sangat menyakitkan. Setidaknya bagiku. Itulah kenapa banyak orang yang sangat sulit memaafkan. Tapi tak apalah, jika dengan begitu rumah mungil yang bernama hati ini menjadi lebih bersih. Jika dengan begitu, semuanya akan lebih ringan untuk kita jalani. Semoga kamu juga memaafanku. Dengan maaf yang benar. Dengan maaf yang tulus. Dengan maaf yang bersumber dari asal segala rasa. Dari rumah mungil ini. Dari hati. Bukan dari mulut semata. Bukan dengan kata belaka. Agar kita bisa saling memahami, bahwa;
berdamai dengan kesalahan masa lalu, selalu jauh lebih indah daripada melupakannya.

menata hati-6

Bagaimanalah ini. Biarkan aku mulai dari awal mula hubungan kita. Kita sama-sama lupa untuk saling bersepakat. Akan diapakan hubungan ini. Akhirnya, kita seperti air yang mengalir. Terbawa arus yang ada di hadapan. Masalahnya tidak semua arus yang ada di hadapan kita bermuara pada kebaikan. Harusnya kita bisa menentukan sendiri, akan dibawa kemana aliran ini.  Kalau begitu, kita telusuri saja dari hal yang cukup mendasar; Apa yang perlu dihasilkan dari sebuah hubungan? Siapapun akan menjalin hubugan dengan orang lain jika hubungan itu menguntungkan. Termasuk hubungan yang terjalin diantara kita. Dan itulah salah satu alasan kenapa aku ada, kamu ada dan manusia ada. Untuk saling melengkapi satu diantara lainnya. Untuk saling memberi dan mengambil manfaat dari keberadaan satu dan yang lainnya.
Itulah masalahnya. Itulah yang aku ingin jujur kepadamu, dan itulah yang mungkin akan sangat menyakitimu: Ternyata aku tidak benar-benar mencintai kamu. Aku hanya mencintai sebagian diriku sendiri yang hidup dalam diri kamu. Aku menyukai kebaikan-kebaikan kamu dan segala hal tentang kamu yang sesuai dengan aku, yang membuatku senang, atau yang aku inginkan dan ada dalam diri kamu.
Tapi bagaimana dengan kekuranganmu, dengan keburukanmu, dengan semua hal yang aku tidak sukai dari kamu? Haruskah aku memaksakan diriku untuk menyukainya? Dan apakah masih disebut cinta jika ada paksaan di dalamnya? Selama ini, sepertinya kita sama-sama saling menyembunyikan kekurangan kita, keburukan kita. Berusaha nampak sesempurna mungkin. Dan apakah masih bisa disebut cinta, jika tidak berani jujur apa adanya, jika masih sama-sama ketakutan dengan menyembunyikan kondisi yang sebenarnya?
***
Barangkali kita harus mengingat pelajaran tentang Ketuhanan. Bahwa Dialah yang memang pantas dicintai dengan sebenar-benarnya cinta. Karena Dia yang Maha Sempurna tanpa kekurangan secuilpun. Terlebih lagi, Dia yang menciptakan segenap perasaan itu. Perasaan yang biasa kita sebut sebagai cinta. Walaupun seringkali, kita menyalahgunakannya. Sedangkan aku, kamu dan yang lainnya hanyalah manusia yang memang punya kecenderungan untuk lebih mencintai diri sendiri daripada mencintaiNya, apalagi daripada mencintai orang lain.
Mungkin, kita harus membuat kesepakatan ulang, tentang definisi baru dari jenis hubungan yang kita punya. Tentunya dengan melibatkan Dia, yang sudah memberikan perasaan ini. Bisa jadi, namanya bukan cinta lagi. Karena cinta ternyata belum relevan untuk menaungi hubungan diantara kita. Barangkali benci. Eh, itu malah semakin tidak relevan. Aku tidak membenci kamu. Aku hanya belum tahu bisa menerima atau tidak segala kekurangan kamu. Dan aku juga tak yakin kamu mau menerima segala kekuranganku. Bagaimana kita bisa saling menerima jika kita saling menyembunyikan. Dan tentu saja aku tak mau ada salah satu diantara kita yang mati kaget karena baru tahu di kemudian hari.
Apapun nama hubungannya, bagaimanapun definisinya; aku harus harus belajar menata hati untuk bisa mencintai diriku sendiri dengan benar, baru aku bisa mencintaimu bahkan mencintai yang lainnya dengan benar juga. Dan katanya, hanya mereka yang mencintai Penciptanya dengan benar, yang akan bisa mencintai dirinya sendiri secara benar. Aku harap, kamupun demikian. Atau, kalau tak mau repot-repot; kita sudahi saja hubungan diantara kita. Maaf, atas kejujuran yang [mungkin] menyakitkan.
[Nazrul Anwar]