menata hati-2

  • 0
Aku kira kita sudah saling memaafkan. Nyatanya, kita hanya saling melupakan. Sayangnya, kadang kita malah ingat apa yang seharusnya dilupakan dan lupa dengan apa yang harusnya tertanam dalam ingatan. Saling melupakan menjadi kesalahan baru yang kita lakukan. Dan kata maaf yang pernah kita ucapkan, tak cukup kuat untuk mengendalikan perasaan. Mulutmu memang pernah mengucap maaf. Ringan. Mulutku juga menerimanya. Berat. Dan maaf menjadi kata tanpa makna. Menjadi ritual yang terpaksa. Karena baru dilakukan oleh mulut semata. Karena baru diucapkan dengan kata belaka.
****
Rumah mungil itu bernama hati. Kita sama-sama tahu dimana lokasinya. Aku punya, kamu juga. Pertanyaannya, seberapa kenal kita dengan penghuninya? Penghuninya memang diri kita masing-masing. Tapi terkadang, diri kita tidak sesederhana yang kita bayangkan. Memang demikian adanya. Karena kita manusia. Sedangkan Tuhan menciptakan manusia satu paket dengan akal dan hatinya. Dengan logika dan emosinya. yang membuat aku dan kamu beserta manusia lainnya menjadi begitu unik, rumit dan tak terduga. Itulah kenapa banyak orang yang kesulitan untuk mengenal dirinya sendiri. Tak terkecuali, kita.
Belakangan aku mencoba mengelilingi rumah mungil itu. Menyibak bongkah-bongkah perasaan yang ikut mendiaminya. Ada satu lokasi yang membuatku kaget tercengang. Kenapa disana begitu kotor berdebu. Kenapa disana tampak lebih hitam dan gelap. Kenapa disana terasa sakit. Dan kenapa disana ada namamu. Emosiku langsung mengambil alih, membuat kesimpulan kalau kamulah penyebabnya. Kesimpulan itu benar adanya. Memang kamulah penyebabnya. Yang salah adalah perlakuanku setelahnya. Untung, logika masih berbaik hati untuk meluruskannya. Rumah mungil itu rumahku. Ada dalam diriku. Kamu memang mengotorinya. Aku juga mungkin pernah mengotori rumah mungilmu, yang baru aku mengerti adalah penjelasan di bawah ini. Logika yang membantu menyusunnya;
Kita bisa berada dalam kebersamaan yang sama. Tapi kita tidak bisa tinggal di hati yang sama. Tuhan sudah memberikan porsinya masing-masing. Aku punya. Kamu juga punya. Tidak bisa saling tukar. Sudah begitu adanya. Memang begitu takdirnya. Karena kita bertanggungjawab terhadap diri kita sendiri. Termasuk rumah mungil yang masing-masing kita miliki. Hati kita.
Mungkin, sesekali kita bisa saling berkunjung. Sekedar bertamu. Dengan kepentingan yang beraneka ragam. Tak lebih. Kalau rumah mungil ini adalah milikku, harusnya aku yang bertanggungjawab membersihkannya dari segala kotoran, bukan? Terserah darimana kotoran itu berasal. Termasuk kalau ada yang rusak dengan bagian-bagiannya, aku juga yang seharusnya bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Tak peduli siapa yang menyebabkan kerusakan itu. Karena mereka semua hanyalah tamu, yang kadang membuat ramai, membuat bahagia. Tapi sesekali amat menyebalkan dan tega mengotori. Membersihkannya adalah kewajibanku sebagai pemiliknya. Sedang membantu membersihkan adalah pilihan mereka sebagai tamu. Ada yang berbaik hati untuk membantu membersihkan. Ada yang hanya meminta maaf karena sudah mengotori. Ada juga yang tak peduli dengan apa yang sudah dilakukannya. Sayangnya, jenis tamu terakhir yang paling banyak.
Tapi apapun itu, aku ingin mejaga rumah mungil ini agar tetap bersih. Salah satunya dengan memaafkan. Dan aku memaafkanmu. Walupun memaafkan adalah proses yang sangat menyakitkan. Setidaknya bagiku. Itulah kenapa banyak orang yang sangat sulit memaafkan. Tapi tak apalah, jika dengan begitu rumah mungil yang bernama hati ini menjadi lebih bersih. Jika dengan begitu, semuanya akan lebih ringan untuk kita jalani. Semoga kamu juga memaafanku. Dengan maaf yang benar. Dengan maaf yang tulus. Dengan maaf yang bersumber dari asal segala rasa. Dari rumah mungil ini. Dari hati. Bukan dari mulut semata. Bukan dengan kata belaka. Agar kita bisa saling memahami, bahwa;
berdamai dengan kesalahan masa lalu, selalu jauh lebih indah daripada melupakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar